cerpen - Menatap Senja Kemarin

Hari belum petang namun matahari tengah berada dalam perjalanannya menuju ufuk barat. Udara begitu dingin, menusuk tulang rusukku seakan aku tak memiliki segumpal daging dan kulit yang membuatku hangat. Senja kali ini mendung, ya, sedang musim hujan. Tatapanku menuju luar jendela, mencoba menikmati senja dari sudut kamarku.
            Kulihat bayangan seorang wanita dari jendela, menatap senja dengan suasana hati yang galau. Meneteslah air mata sampai ke sudut bibirnya. Dia hapus. Namun itu tak menghentikan tangisannya. Samar-samar terlihat bayangan masa lalunya. Seorang remaja biasa-biasa saja. Namun ada yang lain, yang membuatnya terlihat berbeda. Sahabatnya. Seorang remaja energik yang selalu mendampinginya kemana pun ia pergi.
            “Di mana ada Anis di situ pula ada Aisyah.” seru teman yang lain. “Nempel terus kayak lem.”
            Yah, memang seperti itulah keadaannya. Keduanya selalu bersama. Mereka memiliki banyak perbedaan, namun itulah yang justru mempersatukan mereka. Aisyah cenderung lebih banyak diam sementara Anis adalah remaja yang energik. Aisyah lebih menyukai pelajaran, sementara Anis menyukai seni baik musik maupun seni rupa. Aisyah senang dan mahir berenang, sementara Anis tidak begitu menyukai air.
            “Test renang hari ini aku nggak mau jauh-jauh dari kamu ya, Syah. Aku takut tenggelam.” sahut Anis ketika tengah pemanasan sebelum test. Aisyah tersenyum, “Hmm.. ya, aku di sampingmu, kawan.”
. . .
            Wanita itu tersenyum mengingat masa lalunya. Samar-samar dia melihat bayangan sahabatnya di jendela. Tak lama air mata kembali menetes, kali ini lebih deras. Serpihan masa lalu menyentaknya, membuatnya semakin sakit dan ingin menjerit. Bayang-bayang itu pun menghilang sejalan dengan kembalinya memori masa lalu.
. . .
            Hari itu Aisyah mengunjungi Anis di rumahnya, tak ada niat khusus sebenarnya. Aisyah hanya sedang bosan berada di rumah sendirian. Namun ketika sampai di rumah Anis, Aisyah tidak mendapatinya di rumah.
            “Neng Anis sedang ke dokter, neng.” seru pembantunya.
Aisyah kaget, spontan ia bertanya, “Dokter?”
Dengan ragu dan nampak bingung pembantunya kembali menjawab, “Hmm.. anu neng, hmm.. nganter sepupunya, hmm.. yang demam.”
“Hmm.. kalau begitu sampaikan saja salamku untuk Anis dan sepupunya ya, bi!” jawab Aisyah seraya pamit pulang.
. . .
            Dan memori itu berloncat ke memori yang lain.
. . .
            Anis tiba-tiba memegang kepalanya. Raut wajahnya tak bisa berdusta, dia menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tak lama tubuhnya melemas dan pingsan. Padahal dia terlihat biasa sejak tadi, tetap energik dan menjadi pusat perhatian. Aisyah kaget bukan main. Tak biasanya Anis seperti ini. Berjam-jam waktu Aisyah habiskan menunggui sahabatnya sadar. Mencoba menebak-nebak apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Dan Aisyah menyerah, semakin menebak, semakin pula pikirannya jauh membayangkan hal buruk. Untung saja Anis tak lama kembali sadar.
            “Nis, Anis, kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya cemas.
            Dia mengangguk lalu tersenyum. Masih dengan wajah pucatnya dia meneruskan, “Tak perlu khawatir, kawan, aku hanya terlalu lelah dan belum sarapan.” Aisyah bersyukur sahabatnya tidak sakit, hanya lelah, terbuanglah pikiran buruk yang tadi menyerang.
. . .
            Memori lain menghampirinya, sebuah memori yang membuat wanita itu menangis kemudian tersenyum penuh haru.
. . .
            Anis mengirim sebuah sms pada Aisyah, dia pamit akan pindah ke Singapura. Aisyah kaget, Anis tak pernah menceritakan ini sebelumnya. Siapa yang akan menemaninya nanti? Sulit untuk mencari sahabat yang benar-benar mengerti keadaan kita. Aisyah meminta untuk bertemu Anis sebelum pergi, namun Anis sudah berada di bandara dan akan segera terbang ke Singapura.
            Setelah kepergian Anis yang mendadak itu, Aisyah tidak pernah mendapat kabar dari Anis lagi. Aisyah mencoba untuk sabar dan tetap menunggu Anis. Satu bulan, dua bulan, tiga, empat, enam bulan, setahun, dua tahun, tiga tahun, sampai enam tahun, dan kini kesabarannya telah habis. Terpikir oleh Aisyah, Anis bukanlah sahabatnya lagi. Tega-teganya Anis meninggalkan dirinya tanpa memberi kabar. Bahkan Anis tidak memberi alamat di mana dia tinggal. Sementara Aisyah selalu menyempatkan diri mencarinya di Singapura jika dia berkunjung ke negeri permai itu.
. . .
            Aisyah ditugaskan oleh atasannya untuk meneliti keadaan alam di suatu tempat. Tempat yang tak asing bagi Aisyah, dia pernah menghabiskan liburan di tempat itu bersama Anis. Sedikit-sedikit kenangan itu muncul kembali, tapi dia tepis jauh-jauh.
Dari kejauhan dia melihat seorang wanita tua, Aisyah mengenalnya. Dia ikuti wanita tua itu sampai pada suatu tempat. Aisyah terpaku. Air matanya mengalir. Dia melihat sebuah batu nisan bertuliskan nama sahabatnya, Rizkika Nur Anisa. Menyadari ada yang mengikuti, wanita tua itu berbalik. Dia mendapati sosok yang akrab, Aisyah yang tengah menagis. Tak lama Ibunya ini menceritakan yang sebenarnya.
“Anis adalah penderita kanker otak stadium empat. Anis memang pergi ke Singapura, bukan pindah melainkan berobat. Namun Anis takut tidak akan pernah bisa kembali lagi, lantas dia berbohong. Dia tidak ingin kamu sedih, apalagi sulit untuk melanjutkan hidup tanpanya. Lebih baik kau membencinya karena pergi tanpa kabar. Baginya, kau adalah sahabat terbaik yang pernah dia miliki.”
. . .
            Bayangan itu masih terlihat meneteskan air mata. Seorang wanita yang sedang menatap senja. Kemarin adalah hari-harinya bersama Anis. Saat ini adalah senjanya bersama bayangan Anis yang selalu di hatinya.
            “Selamat jalan sahabatku, Rizkika Nur Anisa. Terima kasih atas semua kenangan indah itu. Bersamamu adalah anugerah terindah dalam hidupku.” seruku dalam hati tersenyum pada bayanganku sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pidato - Pengelolaan Sampah

teks ceramah - Idola Sepanjang Masa

Sepasang AlBanna Mencari Cinta - Resensi "Diorama Sepasang Al Banna"