Catatan Kecilku #1

Namaku Irma Yanti Sepnadi. Bukan remaja luar biasa, nyaris biasa saja. Aku tak tahu apa kelebihanku, yang kulihat hanya kekuranganku. Bukan pesimis, aku tahu suatu saat nanti aku akan tahu di mana letak kelebihanku itu. Tapi kapan? Saat ini aku sudah berumur 16 tahun, tapi belum juga menemukan bakatku. Dan mungkin ketika ada pencari bakat yang menemukanku, aku akan berpura-pura mati agar mereka tidak menanyaiku tentang kelebihanku.

       Dimulai ketika aku kecil, aku senang berfoto-foto. Pernah ketika umurku belum genap 4 tahun, aku difoto oleh ayahku setelah ibuku selesai belanja bulanan sembari membeli beberapa baju baru untukku. Tentu saja difoto menggunakan baju baru itu, mungkin sekalian pamer pada kamera bahwa aku punya baju baru. Ayahku menggunakan kamera lama, entah saat ini kameranya kemana, aku tak tahu bahkan tak mau tahu. Setelah jepret sana-sini, ayahku baru sadar bahwa kameranya rusak dan akhirnya percuma aku action karena hasilnya nihil. Mungkin itu suatu pertanda bahwa aku memang tidak punya bakat untuk menjadi model maupun gadis sampul. Atau mungkin saja kamera ayahku tidak menerima kalau dirinya harus mengambil gambar seorang gadis kecil yang sedang memamerkan baju barunya. Sungguh hipotesa yang benar-benar tak nyambung kan? Haha.
Ketika aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak, aku bukanlah murid TK yang luar biasa. Mungkin bisa dibilang luar biasa, tapi bukan urusan prestasi melainkan luar biasa pendiam. Aku malu pada teman-temanku, tak tahu kenapa, yang aku tahu aku hanya malu pada mereka. Selain itu, aku juga anak yang kidal. Untung berakhirnya masa di TK juga merupakan masa berakhirnya kekidalanku. Ini semua berkat guru-guruku yang baik. Terima kasih Bu!
Sedari kecil orang tuaku sudah menanamkan agama pada diriku. Sejak umur 3 tahun aku sudah diajarkan untuk berpuasa. Tentunya hanya bertahan sampai beberapa jam saja. Lagipula orang tuaku tidak sekejam itu dalam mengajarkan sesuatu padaku. Pertama kali aku tamat puasa dalam satu hari adalah ketika aku berumur 5 tahun. Sungguh prestasi yang luar biasa untukku. Itu pun hanya sehari tamat dalam satu bulan berpuasa.
Masa Sekolah Dasar. 3 tahun pertama aku masih tetap menjadi diriku yang pendiam. aku senang dengan keheningan. Saat itu aku mulai belajar untuk pergi ke sekolah sendiri, dari kelas 1 aku selalu pergi ke sekolah sendiri, ya tidak sendiri juga sih maksudnya tidak diantar orang tuaku kecuali ada hal yang membuatku ingin diantar mereka. Pernah aku terpaksa kembali pulang setelah setengah perjalanan ke sekolah. Aku takut ketika melihat 2 ekor anak anjing yang sedang bermain-main di sekitar jalan yang hendak aku lewati. Saat itu aku pergi sendiri, jadi rasa takut benar-benar aku rasakan mengalir dalam setiap darahku. Dan yang aku tahu, ibuku tentu akan marah jika tahu bahwa anaknya kembali pulang dan meminta untuk diantar karena takut pada anak anjing. Tapi ya harus bagaimana lagi, jalanan menuju sekolah itu teramat sepi untukku menunggu orang lain lewat agar aku tak terlalu merasa takut melewati 2 anjing itu. Apalagi itu hanya anak anjing. Jadi aku mengarang kalau anjing yang aku temui adalah anjing yang sangat besar dan sudah menggonggongiku dengan kencang bahkan mungkin siap menerjangku. Untuk mendramatisir keadaan aku menciprat-cipratkan air minum ke wajahku dan berlagak ngos-ngosan seperti habis dikejar anjing. Dasar anak kecil, sudah pandai berbohong.
Selama duduk di bangku SD, aku merasa jauh dari teman-teman. Bagaimana tidak mereka seperti memanfaatkanku. Memanfaatkan kepolosanku, karena aku takut kehilangan mereka. Aku takut dijauhi teman, aku takut memiliki musuh. Dan mereka sepertinya tak peduli denganku. Seperti pada saat itu, aku pulang sendiri menyusuri jalan yang biasa aku lewati. Tiba-tiba beberapa teman perempuanku memberhentikan langkahku, lalu mereka memasukkan bebatuan ke dalam tas barbie-ku. Aku malu, sedih, kecewa. Mungkin bagi mereka itu hanya sebuah gurauan tapi bagiku tidak. Memangnya aku penjual batu membawa batu kemanapun aku pergi?
             Selain di sekolahkan di SD, orang tuaku juga menyekolahkanku di sekolah agama dekat rumah. Selama enam tahun aku juga belajar agama di sana. Bosan joga lama-lama belajar mengingat jadwalku yang penuh. Pagi sampai siang aku sekolah, pulang sekolah sampai jam 3 aku les baik itu les pelajaran maupun les sempoa. Dan dari jam setengah 4 sampai maghrib aku ikut sekolah agama. Jadi suatu saat aku memutuskan untuk meliburkan diri dari sekolah agama. Tentu saja ibuku akan marah, jadi kuputuskan untuk memanfaatkan keadaan. Kebetulan dekat sekolah agamaku waktu itu sering berkeliaran orang gila, sebenarnya aku tak terlalu takut padanya. Menurutku anjing lebih seram dari orang gila. Tapi aku harus berpura-pura takut pada orang gila tersebut agar aku diizinkan untuk tidak pergi ke sekolah agama. Rencana ini hanya berjalan selama dua hari saja, karena ibuku mendatangi guru di sekolah agamaku agar membuatku mau kembali ke sekolah. Padahal siapa juga yang takut.
            Kembali pada bakat yang sedang aku bingungkan. Aku tak tahu akan melihat dari segi apa bakatku. Jangankan bakat, semasa SD ini saja cita-citaku berganti setiap bulannya. Ketika itu aku senang menggambar, dan objek yang paling aku suka adalah menggambar sketsa rumah. Aku paling senang menggambar rumah dengan setiap detail-nya. Aku menggambar dari sudut depan, samping, belakang, juga dengan denahnya. Ya, sedetail-detailnya juga gambaran anak SD jadi ya begitulah. Dan dari kegemaranku ini, aku bercita-cita ingin menjadi seorang arsitektur. Sayangnya cita-cita ini kepentok orang tua karena mereka tak menginginkan hal ini. Ya terpaksa ganti cita-cita.
            Aku juga senang dengan ilmu pengetahuan, makanya aku ingin menjadi seorang ilmuwan. Ingin menemukan sesuatu dan namaku diabadikan pada penemuan tersebut. Sebab aku belum pernah mendengar nama-nama orang kita ada pada sebuah penemuan, apalagi penemuan yang menggemparkan. Misalnya saja pada ilmu kimia, Tetapan Avogadro menjadi Tetapan Mpok Baido. Atau Hukum Archimedes menjadi Hukum Aki Memet. Rasanya tak mungkin. Tak lama aku juga jadi senang menulis, menulis apa saja, dari mulai diary sampai naskah drama. Makanya aku juga bercita-cita ingin menjadi penulis atau seorang produser. Namun hasil yang aku tulis tak pernah bagus, biasa saja bahkan tak ada apa-apanya. Sekali naskah dramaku digunakan dalam perayaan perpisahan sekolah dasar, itupun karena tidak ada naskah drama yang bisa kami pakai untuk kami pentaskan.
            Selain itu, aku juga gemar menonton film. Apalagi film Barbie. Ketika itu aku dan salah satu temanku menonton salah satu film Barbie favorit kami. Dalam adegan film tersebut sang barbie menari balet, dan aku mengikuti setiap gerakannya. Pada saat barbie tersebut berputar, aku ikut berputar namun kehilangan keseimbangan. Dan akhirnya aku tersungkur dengan kepala mengenai lemari TV. Sakit sekali rasanya. Dari kejadian itu aku ambil kesimpulan untuk tidak bercita-cita menjadi penari. Ada-ada saja diriku.
            Dari sekolah agamaku, aku diajarkan untuk berpidato. Lebih tepatnya sih berceramah. Beberapa lomba pidato telah aku ikuti, dari mulai yang berbahasa Indonesia sampai bahasa daerah setempat. Tentu saja naskahnya dibuat oleh diriku sendiri. Kita harus mandiri bukan? Dan pernah aku menjuarai salah satu lomba tersebut. Betapa bahagianya aku. Sayangnya aku tidak melanjutkan hal ini seiring dengan kenyataan bahwa aku akan duduk di bangku SMP.
            Mengapa aku tak meneruskan melatih diri untuk berpidato? Ya tentu saja karena tidak ada wadah untuk mengapresiasikan hal ini. Bagaimana kita ingin melatihnya jika kita tak memiliki wadah untuk melatihnya?
            Di SMP aku memilih untuk menjadi anggota Paskibra. Aku memilihnya karena aku cinta tanah airku. Cinta kedisiplinan dan ingin melatih rasa tanggung jawabku. Tapi tahukah bahwa aku bukanlah orang yang tepat untuk menjadi seorang paskibraka? Bagaimana mungkin seorang anak paskibra sering pingsan dan tak tahan dengan sinar matahari? Bukan berarti aku anak manja, ya meskipun memang iya. Tapi ini karena kulitku sensitif sekali, sehingga aku harus memakai lotion anti sinar matahari beberapa jam sekali. Menyulitkan bukan? Dan yang membuat aku lebih tidak percaya adalah bahwa aku dipercaya untuk menjabat sebagai Koordinator Umum, jabatan tertinggi dalam ekstrakurikuler Paskibra. Memang menurut beberapa kakak kelas PBB-ku yang paling asoy dibandingkan dengan rekan-rekanku. Tapi bukankah seorang pemimpin itu harus sehat jasmani dan rohani? Tentu saja aku sehat secara rohani, tapi jasmani? Aku tak yakin mengingat aku sering pingsan ketika latihan paskibra.
            Tak ada yang spesial dalam masa SMP-ku, kecuali aku seorang Koordiantor Paskibra. Salalu memakai lencana emas (hanya warnanya saja yang emas) Koordinator Umum kemanapun aku pergi selama memakai baju seragam. Tahukah kalian bahwa lencana itu sungguh terlalu besar untukku? Bayangkan saja jika kau harus memakai lencana yang membuat baju seperti berat sebelah! Pernah ketika aku pulang sekolah dan lupa untuk mencopot lencana itu, ada seorang tentara TNI-AD melihatku dengan wajah bingung. Mungkin dia pikir anak mana yang sedang memakai lencana TNI milik ayahnya. Oh yang benar saja!
            Hal yang paling aku ingat ketika duduk di bangku SMP adalah aku pernah membuat adik kelasku menangis setelah aku marahi. Bukan, aku bukan termasuk kakak kelas yang kejam yang sering melakukan bullying kepada adik kelasnya. Ini semua karena jabatanku, aku harus terlihat keras agar wibawaku tidak jatuh di hadapan adik kelasku. Memberatkan memang, bahkan pernah ketika aku sedang tertawa bersama sahabatku, kami melihat adik kelas kami, anak paskibra tentunya, seketika aku langsung mengubah mimik wajah. Agar dia merasa segan terhadap kami.
            Masa SMP-ku berakhir dengan tidak ada kejadian yang begitu berarti. Aku hanya lulus dengan nilai di atas rata-rata. Dan kemudian pindah ke SMA favorit di kota lain. Oya aku lupa untuk mengatakan bahwa selama SMP aku bercita-cita ingin menjadi seorang Paskibraka yang mengibarkan Sang Saka di Istana Negara. Hanya saja ketika aku masuk ke sekolah baru aku tak berniat untuk melanjutkan karierku di bidang Paskibra. Entah kenapa hanya aku saja yang tak menginginkannya.
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pidato - Pengelolaan Sampah

teks ceramah - Idola Sepanjang Masa

Sepasang AlBanna Mencari Cinta - Resensi "Diorama Sepasang Al Banna"